Rabu, 12 Oktober 2011

Saya Tidak Tahu



Salah satu ajaran teragung yang disumbangkan Islam untuk ilmu pengetahuan adalah kalimat saya tidak tahu. Ia kalimat yang setiap orang berilmu mesti berlatih mengatakannya. Semakin berilmu semakin dituntut untuk fasih mengucapnya. Semakin ia mengetahui semakin haram lidahnya kaku menyebutnya. Siapa saja yang mengaku berilmu dan tidak lancar lidahnya mengucapnya, sungguh ia sedang menggali kuburannya sendiri.
Saya tidak tahu bukan hanya menjadi penyelesai masalah tapi juga menjadi lambang kebesaran hati. Juga simbol kedewasaan. Dan yang paling penting saya tidak tahu adalah penyelamat dari negerinya pertanggungjawaban di hadapan Allah nanti.

Islam sebagai penganjur ajaran ini memberikan contoh yang tidak tanggung-tanggung. Ia memperlihatkan bagaimana seorang yang digelari manusia mulia, kekasih Allah, sosok agung yang seluruh ramalannya terbukti, tokoh yang tak ditemukan kekurangan akhlaq dalam dirinya. Pribadi yang seluruh alam menangisi kepergiannya. Pemimpin yang begitu cantik berpolitik, panglima perang yang sangat cerdik strateginya, petarung tangguh yang tak terkalahkan, guru yang sangat menawan, murabbi yang penuh cinta, suami yang romantis dan bapak yang selangit kasihnya.

Islam memperlihatkan pada umatnya bahwa saya tidak tahu mesti diamalkan karena jangankan kalian, nabi Muhammad saja yang memiliki jutaan kemuliaan mempraktekkannya. Dalam Al Quran direkam banyak sekali ayat yang menggambarkan bagaimana Nabi mengatakannya. Lihatlah ayat-ayat ini:
“Katakanlah wahai Muhammad bahwa aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul, dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat padaku dan padamu, aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Allah padaku, tiadalah aku ini kecuali hanya pemberi peringatan yang nyata”(QS: Al Ahqaf: 9). Pada saat beberapa pendeta Yahudi menanyai nabi tentang ruh, nabi pun diajari oleh Al Quran agar mengakui ketidaktahuannya. Ia mesti berkata demikian sebab tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sangat sedikit. Kaumnya bertanya pada nabi Muhammad tentang hari kiamat, nabi tidak tahu. Al Quran pun mengatakan seperti ini, “katakanlah pada mereka bahwa tentang perkara itu hanya Allah yang tahu”. (QS; Al A’raf 183) Nabi juga mengakui ketidaktahuannya tentang perkara yang gaib dan tersembunyi, Al Qur’an menceritakannya seperti ini, “………..Saya tidak mengatakan padamu bahwa saya punya seluruh gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, saya juga tidak mengetahui hal-hal gaib…….”. (QS: Hud 31).

Bukan cuma itu, di ayat lain Allah mengajarkan dan menceritakan pengakuan nabi yang tak mampu berbuat apa-apa untuk menolak keburukan dan mendapatkan kebaikan. Nabi tak mampu melakukan semua itu sebab ia tidak tahu. Dan nabi pun disuruh mengakui ketidaktahuannya sebagaimana dalam surat Al A’raf 188, “….. andaikan saya tahu permasalahan yang gaib pasti saya akan selalu memperbanyak kebaikan dan pasti tidak akan ditimpa keburukan”. Allah telah mengajarkan Muhammad untuk bersikap kesatria mengakui ketidaktahuannya. Al Qur’an membimbingnya untuk bersikap demikian dan para malaikat telah mencontohkannya. Mereka berkata saat Allah memintanya menyebut nama-nama benda, “Duhai Tuhanku sungguh kami tidak tahu apa-apa kecuali apa yang telah Engkau ajarkan pada kami, sungguh engkaulah yang maha mengetahui dan bijaksana”. (QS: Al Baqarah: 82).
Setelah nabi mengamalkan sendiri ajaran ini ia pun berpesan, “Hai sekalian manusia, barangsiapa yang mengajari orang sesuatu maka katakanlah jika ada perkara yang tidak diketahuinya “Allahu A’lam”, sungguh merupakan ciri ketinggian ilmu seseorang jika ia mengatakan pada perkara yang tidak diketahuinya “Allahu A’lam”. Bahkan nabi mengancamkan api neraka pada mereka yang terlalu berani berfatwa dan tidak peduli dengan ajaran ini. Beliau berkata, “Yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah yang paling mudah masuk neraka”. Sebab nabi telah mengajarkan maka para sahabat pun berlomba mengamalkan dan menyampaikan ajaran ini. Ibnu Abbas berkata, “Jika seorang berilmu tidak mampu berkata saya tidak tahu maka tidak mengapa jika dia diperangi.”

Abu bakar juga mencontohkan sikap ini dengan berkata, “Di langit mana saya akan bernaung, di bumi saya akan berpijak jika seandainya mengatakan tentang Al Quran yang saya tidak ketahui.” Saat Said bin Jubair, sang sahabat mulia ini ditanya tentang sebuah masalah agama ia pun tak melupakan ajaran nabi ini dan berkata,” Saya tidak tahu, celakalah orang yang berkata saya yang paling tahu pada perkara yang dia tidak ketahui.” Itulah mereka para ulama di zamannya tidak pernah malu berkata saya tidak tahu. Abu Bakar manusia yang paling dekat dan paling terbaik setelah Rasulullah selalu berkata saya tidak tahu. Abdullah bin Umar juga selalu berkata saat ditanyai sebuah permasalahan agama saya tidak tahu. Bapaknya juga demikian, Uqbah bin Muslim berkata, saya pernah menemani Umar dalam sebuah perjalanan selama tiga puluh empat bulan. Banyak orang yang bertanya padanya dan selalu ia jawab,” Saya tidak tahu”. Umar berkata padaku, “tahukah kamu apa yang diinginkan oleh orang-orang itu?” Tidak, jawabku. Mereka ingin menjadikan punggung kita ini sebagai jembatan menuju neraka. Seorang Umar yang perkasa sangat takut. Ia sadar betul bahwa menjawab dengan kalimat tidak tahu itu lebih mulia dari pada menyesatkan manusia. Dan lihatlah pula tokoh-tokoh besar Islam ini begitu fasih berucap saya tidak tahu.

Suatu ketika Imam Al-Syai’bi kebingungan tentang sebuah permasalahan fiqih. Sahabatnya pun berkata padanya, “Kami sungguh malu melihat engkau bingung tidak mengetahui masalah fiqih ini.” Beliau pun menjawab pada para sahabatnya, “Sungguh malaikat itu tidak malu-malu mengatakan subhanaka la ilma lana illla ma allamatana…. Sungguh suci engkau ya Allah, tak ada ilmu yang kami punya kecuali apa yang kau ajarkan.” Suatu ketika ada seseorang yang menghadiri pengajian Imam Al-Qasim Bin Muhammad lalu bertanya padanya tentang satu perkara. Sang Imam Menjawab, saya tidak terlalu memahaminya. Sang penanya berkata lagi, saya mengajukan padamu pertanyaan yang tidak ada orang selainmu yang mampu menjawabnya. Sang imam pun menjawab, “Engkau jangan melihat panjangnya jenggotku dan banyaknya orang yang hadir di pengajianku. Demi Allah sungguh saya tidak memahaminya.” Seorang syeikh dari Quraisy yang hadir di situ juga berkata padanya, “wahai saudaraku, jawablah, sungguh saya tidak melihat orang yang paling mampu darimu saat ini.” Sang imam lalu menjawab, “Demi Allah, andaikan dipotong-potong lidahku saya lebih senang dibanding mengatakan sesuatu yang saya tidak tahu.” Beliau kemudian bercerita tentang Imam Malik yang berkata, “Andai seorang hidup dalam keadaan bodoh, itu lebih baik dari pada ia berkata tentang agama Allah yang tidak ia pahami.” Imam Malik berwasiat pada muridnya Ibnu Hurmuz Al-Asham sebagai berikut, ”Sepantasnyalah seorang ulama mewarisi pada murid-muridnya perkataan saya tidak tahu.”
Lebih lanjut imam Malik berkata, “Ilmu itu ada tiga, ayat-ayat Al-Quran yang terang, sunnah nabi yang shahih dan perkataan saya tidak tahu.” Pernah juga suatu ketika beliau ditanyai tentang permasalahan fiqih sebanyak empat puluh masalah. Tiga puluh enam masalah ia jawab dengan berkata “saya tidak tahu.” Beliau didatangi seseorang dari negeri yang jauh, Maroko. Ia utusan kaumnya, disuruh bertanya pada sang ulama dar al hijrah ini. Perjalanan enam bulan lamanya telah ia tempuh untuk sampai pada sang Imam. Ia bertanya namun sang Imam menjawab saya tidak tahu. Sampaikan pada orang yang mengutusmu bahwa imam Malik, ulama dar al hijrah itu berkata saya tidak tahu. Lalu siapa yang tahu masalah ini, tanya sang utusan, imam Malik pun berkata, yang mengetahuinya adalah orang yang diajarkan oleh Allah. Maka Hasan Al Banna selalu mendengung-dengungkan pada seluruh kadernya perkataan Imam Malik, “An Qala La Adri Fa qad Afta,” seseorang dikatakan berfatwa jika ia berkata saya tidak tahu.
Kalau mereka begitu lancar berkata, mengucapkannya begitu indah, begitu tegas menuturkannya lalu apa yang menghalangi kamu(yang menulis tulisan ini). Apa yang melarangmu mahasiswa bodoh. Apa yang mencegahmu yang bukan apa-apa untuk berkata saya tidak tahu Allahu A’lam.

** Disarikan dari Buku Al Quran Wa Qadhaya Al Insan oleh : Dr. Aisyah Abdurrahman (Bintu Syati’).

0 comments:

Posting Komentar